Merenungkan Sistem Pendidikan di Indonesia

Saya seringkali merenung, menatap wajah-wajah polos siswa di kelas, dan bertanya-tanya, “Apakah sistem pendidikan kita sudah benar-benar mempersiapkan mereka untuk masa depan?”

Saya merasakan betul tantangan yang dihadapi sistem pendidikan kita. Di satu sisi, kita dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, termasuk mengadopsi pendekatan deep learning dalam pembelajaran. Di sisi lain, kita masih bergulat dengan masalah-masalah dasar, seperti kesenjangan akses, kualitas guru, dan kesiapan siswa.

Saya ingat betul, ketika pertama kali mencoba memperkenalkan Google Sheets kepada siswa saya. Sebagian besar dari mereka tampak kebingungan. Mereka belum terbiasa dengan antarmuka dan fungsi-fungsi yang ada di dalamnya. Ini membuat saya berpikir, bagaimana mungkin kita berbicara tentang deep learning jika kemampuan dasar seperti ini saja belum dikuasai?

Terpikir dalam benak saya “Apakah ini salah saya yang tidak bisa mengajar atau memang dari siswanya yang memang tidak berniat untuk mempelajari lebih dalam mengenai Google Sheets untuk Analisis Data?”. Pertanyaan ini terus berputar di kepala saya, membuat saya merenungkan kembali tentang sistem pendidikan kita di Indonesia.

Mungkin, bukan salah siapa-siapa. Mungkin, ini adalah cerminan dari kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia. Kita seringkali terjebak dalam paradigma bahwa semua siswa harus diperlakukan sama, tanpa mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan gaya belajar mereka. Saya melihat sendiri bagaimana siswa dengan tingkat kognitif yang berbeda-beda berkumpul dalam satu kelas. Ada yang cepat memahami materi, ada yang membutuhkan waktu lebih lama, dan ada pula yang kesulitan untuk memahami konsep-konsep dasar. Ini membuat saya kesulitan untuk memberikan pengajaran yang efektif dan efisien dan kadang saya harus membuat beberapa lembar kerja untuk siswa dengan kemampuan kognitif tinggi dan rendah.

Lagi-lagi saya berandai,

“Andai masuk sekolah negeri itu diperketat dengan sistem Tes Potensi Akademik atau Tes Prestasi, mungkin ini bisa meningkatkan kepercayaan orang tua lagi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri.”

“Andai saja tiap kelas dikelompokkan berdasarkan tingkat kognitifnya, mungkin akan mempermudah guru untuk mengajar dan mendidik siswanya.”

“Bagaimana ya kalau guru itu seleksinya diperketat dan gajinya tinggi? Mungkin banyak yang ingin mengambil profesi guru. (kalau yang ini mungkin sulit dilakukan mengingat jumlah penduduk Indonesia yang padat dan siswa-siswi banyak yang membutuhkan guru di sekolahnya).”

“Kalau pemerintah tidak korupsi, mungkin Indonesia dananya tidak akan sesedikit ini. Soalnya pendidikan memerlukan lebih banyak biaya apalagi untuk melaksanakan praktikum khususnya yang berkaitan dengan teknologi.”

Seolah menjadi refleksi dari harapan besar akan pendidikan Indonesia yang lebih baik. Namun, saya sadar, andai-andai saja tidak cukup. Kita perlu aksi nyata, langkah konkret, untuk mewujudkan impian itu.

Komentar