Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Karakteristik Peserta Didik

Pembelajaran Berdiferensiasi (Developmentally Appropriate Practice)

Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan belajar murid. Pendidik memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya, karena setiap murid mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa diberi perlakuan yang sama. Dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi pendidik perlu memikirkan tindakan yang masuk akal yang nantinya akan diambil, karena pembelajaran berdiferensiasi tidak berarti pembelajaran harus dengan memberikan perlakuan atau tindakan yang berbeda untuk setiap murid, maupun pembelajaran yang membedakan antara murid yang pintar dengan yang kurang pintar. Pembelajaran yang diberikan juga disesuaikan dengan materi yang akan diberikan.
        Ciri-ciri proses pembelajaran DAP (Developmentally Appropriate Practice) adalah: (1) disesuaikan dengan perkembangan anak dengan fokus agar anak mampu melakukan konstruksi pengetahuan secara mandiri. Kegiatan mengarahkan, memberi tahu, dan menginstruksikan merupakan fokus dalam Developmentally Appropriate Practice (DAP); (2) Belajar dipandang sebagai proses yang berkelanjutan sehingga pengukuran dan kuantifikasi tidak banyak digunakan dan rencana belajar yang disusun pendidik lebih bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak mengalami belajar; (3) Ranah belajar terkait antar semua dimensi perkembangan, dan aktivitas belajar dapat berlangsung melalui proyek, pusat belajar, dan bermain yang mencerminkan minat anak; (4) Materi belajar bersifat konkrit dan dipilih yang betul-betul relevan dengan pengalaman keseharian anak; (5) Rencana pembelajaran berdasarkan hasil observasi dan pengukuran secara reguler mengenai aktivitas anak, minat, kebutuhan, dan tingkat keterlibatan; (6) Pendidik lebih berfokus pada memberikan dorongan kepada anak untuk mencari tantangan baru dalam rangka mengembangkan perasaan mampu dan kendali diri; (7) Pendidik menyadari bahwa setiap pengalaman merupakan peluang belajar bagi anak dalam rangka menumbuhkan perasaan mampu dan bertanggung jawab pada anak; (8) Pendidik menfasilitasi pengembangan kendali diri dan komunikasi sosial anak yang disesuaikan dengan kemampuan bahasa dan tingkat kognisi anak; (9) Pendidik berbicara satu persatu dengan anak, menfasilitasi interaksi verbal dan menyajikan pengalaman belajar bahasa secara terstruktur; (10) Aktivitas dalam dan di luar ruangan digunakan secara bervariasi dengan intensitas keterlibatan pendidik secara penuh; (11)Informasi dan gagasan orang membantu pendidik untuk mengerti lebih baik mengenai anak dan anak sendiri juga merasa betah untuk bolak-balik antara rumah dan sekolah karena adanya komunikasi reguler pendidik; (12) Penggunaan tes dan asesmen untuk mengetahui kelayakan anak mengikuti program yang lebih tinggi; (13) Program belajar disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan anak dan tidak memaksakan sistem yang dikembangkan oleh pendidik. 
Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP), yaitu: (1) Memposisikan nak sebagai pemegang peranan utama dalam proses pembelajaran, dimana kegiatan yang akan dan sedang dilakukan mewadahi gagasan anak; (2) Memberikan banyak kesempatan untuk anak aktif bergerak dan bertanya, menjelajah serta mencoba; (3) Media pembelajaran disesuaikan dengan karakter perkembangan anak usia pra sekolah yang masih berada pada tahap Pra-Operational, dimana anak membutuhkan benda konkrit dan lingkungan nyata yang akan melibatkan kesemua indera yang dimiliki anak secara aktif; (4) Mampu menciptakan suasana belajar yang aktif dan menyenangkan degan pendekatan cara belajar bermain dalam lingkungan; (5) Pendekatan ini diupayakan agar anak dapat memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik, pembelajaran yang efektif yang mampu membangkitkan keingintahuan mereka melalui kegiatan eksplorasi, eksperimen dan dalam pengalaman nyata. 
        Kelemahan Pendekatan Pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP), yaitu tidak semua materi pembelajaran cocok diterapkan dan harus sesuai dengan tahapan perkembangan peserta didik, termasuk perkembangan kognitifnya.

 

Pengajaran yang Responsif Kultur (Culturally Responsive Pedagogy)

Culturally Responsive Pedagogy adalah praksis (teori dan aplikasi) pendidikan yang menekankan pada keterkaitan antara pendidikan dan dimensi sosial budayanya. Penekanan pada budaya peserta didik dan komunitas tidak semata dijadikan sebagai upaya mendekatkan peserta didik dengan konteksnya, tetapi lebih dari itu diharapkan dapat menjembatani munculnya kesadaran peserta didik terhadap identitas budayanya. Pentingnya kearifan lokal dijadikan sebagai salah satu komponen dalam pendidikan pendidik di tanah air terkait dengan upaya untuk memperluas wawasan dan kompetensi budaya pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, pemahaman pendidik yang benar mengenai berbagai dimensi kearifan lokal yang berkembang di tengah-tengah masyarakat membantu pendidik untuk mengapresiasi keragaman perspektif tersebut, bukan menjadikannya sebagai stereotip yang menyudutkan peserta didiknya. Pengajaran yang responsif kultur dapat menjadi tantangan apabila pendidik memiliki keterbatasan pengetahuan terhadap topik yang diberikan. Sebagai contoh, peserta didik berbicara tentang penolakan mereka terhadap mendiskusikan komunitas LGBTQ atau yang terkait dengan masalah tersebut. Para peserta didik ini mengutip  Latar belakang Kristen sebagai katalisator mereka penolakan terhadap gaya hidup. Karena mereka punya kecemasan tentang topik dan takut mereka mungkin mengatakan sesuatu yang dapat dianggap sebagai negatif atau kontroversial, mereka lebih suka menghindari topik terkait. Peserta didik lain berbicara tentang mereka kecemasan terkait dengan konflik yang mungkin timbul diantara peserta didik yang memeluk menentang ideologi. Misalnya saat mempertimbangkan kebrutalan polisi di komunitas kulit hitam, banyak pendidik menjelaskan perbedaan yang dalam antara pendukung Black Lives Matter dan Blue Lives Matter. Oleh karena itu, daripada risiko memberatkan peserta didik dan memicu konflik antara sudut pandang yang berlawanan, beberapa pendidik merasa lebih baik menghindari topik seperti itu wacana kelas, terutama karena mereka merasa belum menguasai keterampilan bernegosiasi wacana yang sulit (Samuels, 2018).
            Kelebihan dari Culturally Responsive Pedagogy adalah mendorong peserta didik untuk merasa terhubung, disertakan, dan dihargai, serta membantu mereka lebih memahami diri dari sisi positif sehingga menginspirasi mereka untuk memelihara identitas dan integritas budaya. Selain itu, budaya kelas yang positif berfungsi untuk meningkatkan rasa percaya diri dan rasa aman dalam ruang kelas. Pendidik juga harus membangun suasana kelas di mana semua peserta didik diharapkan untuk berpartisipasi dan menggunakan strategi untuk mendorong partisipasi beberapa suara dalam diskusi. Strategi seperti mengajukan pertanyaan terbuka, bicara akuntabel, pemodelan efektif percakapan, fishbowl, dan talking chips.

 

Pengajaran Sesuai Level (Teaching At the Right Level)

Teaching at the Right Level (TaRL) merupakan pendekatan belajar yang tidak mengacu pada tingkat kelas, melainkan mengacu pada tingkat kemampuan siswa (sesuai dengan implementasi dari filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara). Inilah yang menjadikan TaRL berbeda dari pendekatan biasanya. TaRL dapat menjadi jawaban dari persoalan kesenjangan pemahaman yang selama ini terjadi dalam kelas. Guna menerapkan pendekatan ini, tentunya seorang pendidik harus melakukan beberapa tahapan antara lain memahami karakteristik peserta didik, merancang perencanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan hasil identifikasi peserta didik serta pengelompokkan peserta didik dalam tingkat yang sama. Kemudian, pendidik dapat mengikuti berbagai ragam pelatihan guna memahami konsep pendekatan serta teknik yang sesuai agar TaRL dapat diimplementasikan dengan baik.
           Dalam melaksanakan konsep teaching at the right level (TaRL), pertama pendidik perlu lebih dulu melakukan asesmen. Asesmen ini berfungsi untuk mengetahui karakteristik, potensi, dan kebutuhan siswa. Sehingga pendidik tahu sampai mana tahap perkembangan dan capaian belajar siswa. Kedua, tahap perencanaan. Setelah mengantongi hasil dari asesmen tersebut, pendidik kemudian dapat menyusun perencanaan  proses pembelajaran yang sesuai.  Seperti perangkat ajar apa yang digunakan, metode, hingga pengelompokan siswa sesuai tingkat kemampuan. Ketiga, tahap pembelajaran. Pada tahap pembelajaran, pendidik juga perlu melakukan asesmen berkala dalam rangka mengetahui proses perkembangan yang terjadi pada siswa. Selain itu, evaluasi pembelajaran di akhir juga merupakan hal yang penting. Hal ini berfungsi untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran dan membantu merancang pembelajaran berikutnya. Tantangan pendekatan TaRL yaitu kurang profesionalisme pendidik dalam melakukan asesmen ditandai dengan adanya siswa yang ditempatkan pada level yang tidak tepat hal ini yang menyebabkan pembelajaran sesuai level tidak terlaksana dengan efektif. Solusinya yakni mengulang kegiatan asesmen kembali kepada siswa tersebut dengan benar-benar memperhatikan prosedur penilaian yang sudah ditetapkan (Mubarokah, 2022).

 

Implementasi Pembelajaran Berdiferensiasi, Pendidikan Tanggap Budaya, Dan Pengajaran Sesuai Level Dalam Kurikulum Merdeka

Pada tahun 2019, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan merdeka belajar untuk melakukan transformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan berprofil Pancasila, Merdeka belajar atau pendidikan yang memerdekakan pada hakikatnya pembelajaran berpihak atau berpusat kepada murid (student-centered learning) yang sudah dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) sejak tahun 1922 di perpendidikan Taman Siswa. Dalam pembelajaran ini, murid memainkan peranan penting dengan bimbingan pendidik. minat, gaya, dan kesiapan belajar siswa ditempatkan sebagai prioritas sehingga tercipta pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Pengembangan karakter (budi pekerti) harus sesuai dengan perkembangan budaya bangsa sebagai sebuah kontinuitas menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap memiliki sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentris). Pendidikan hendaknya disesuaikan dengan kodrat alam yang berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan anak berada serta kodrat zaman yang merupakan muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya di Indonesia. 
        Pembelajaran berdiferensiasi merupakan manifestasi pembelajaran berpihak kepada murid yang dirancang, dilaksanakan dan dinilai untuk memenuhi kebutuhan individual murid dengan memperhatikan kesiapan belajar (readiness), minat belajar (learning interest), dan profil belajar (learning profiles). Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana pendidik merespon kebutuhan belajar tersebut. Adapun strategi pembelajaran berdiferensiasi ada 3 yaitu: diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk. Diferensiasi konten berhubungan dengan materi atau apa yang diajarkan pada murid dengan mempertimbangkan pemetaan kebutuhan belajar murid baik itu dalam aspek kesiapan belajar, aspek minat murid dan aspek profil belajar murid atau kombinasi dari ketiganya. Diferensiasi proses menekankan pemahaman pendidik tentang proses belajar murid apakah secara berkelompok atau mandiri. Pendidik menetapkan jumlah bantuan yang akan diberikan pada murid-murid. Siapa sajakah murid yang membutuhkan bantuan dan siapa sajakah murid yang membutuhkan pertanyaan pemandu yang selanjutnya dapat belajar secara mandiri. Sedangkan, diferensiasi produk merupakan keberagaman dalam hasil pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukkan pada pendidik bisa berbentuk karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukan, presentasi, pidato, rekaman, diagram, dan sebagainya. Dalam pembelajaran ini dapat diselipkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran. Contoh pada materi biologi tentang ekosistem, pendidik dapat mengaitkan dengan budaya setempat contohnya Kawasan wisata kebun raya Bedugul atau tempat-tempat lain yang berhubungan dengan ekosistem tersebut. guru juga diharapkan memberikan pembelajaran sesuai dengan level kemampuan peserta didik, bukan berdasarkan usianya. Perbedaan tingkat kemampuan peserta didik ini membuat guru harus melakukan asesmen diagnostik. Kemudian, guru dapat melakukan pembelajaran berdiferensiasi dengan modifikasi proses,yaitu membentuk kelompok sesuai dengan tujuan pembelajaran masing-masing peserta didik. Murid yang berkembang membutuhkan banyak instruksi langsung dan pendampingan. Sedangkan murid yang kompetensinya unggul dapat belajar secara mandiri. Setelah membentuk kelompok, guru dapat memodifikasi konten pembelajaran untuk setiap murid. Tetapi, sebelumya guru juga harus menentukan konsep utama yang harus dikuasai oleh setiap murid sebagai modal. Sehingga begitu murid menemui soal yang kompleks, mereka dapat mengerjakannya dengan baik. Kemudian sebagai luaran atau output dalam proses pembelajaran, guru dapat memberikan tugas projek kepada peserta didik sesuai dengan kemampuan mereka.


 

DAFTAR RUJUKAN

 

Mubarokah, S. (2022). Tantangan Implementasi Pendekatan TaRL (Teaching at the Right Level) dalam Literasi Dasar yang Inklusif di Madrasah Ibtida’iyah Lombok Timur. BADA’A: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 165-179.

Samuels, A. (2018). Exploring Culturally Responsive Pedagogy: Teachers’ Perspectives on Fostering Equitable and Inclusive Classrooms. SRATE Journal, 25-26.

Komentar